Shopping cart

Magazines cover a wide array subjects, including but not limited to fashion, lifestyle, health, politics, business, Entertainment, sports, science,

  • Home
  • Politik
  • Pilkada Serang dan abuse of Power dalam Pemilu
Nasional

Pilkada Serang dan abuse of Power dalam Pemilu

Email :26

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati atau Pilkada Kabupaten Serang tahun 2024 telah memicu berbagai reaksi dan perdebatan di kalangan masyarakat dan politisi. Keputusan ini tidak hanya membatalkan kemenangan pasangan Ratu Rachmatuzakiyah dan pasangannya, tetapi juga menyoroti isu-isu mendasar dalam proses demokrasi dan integritas pemilihan di Indonesia.

Dalam sidang putusan perselisihan hasil Pilkada (PHP) perkara Nomor 70/PHPU/PUB-XXIII/2023, MK menemukan bahwa terdapat ketidaknetralan kepala desa sehingga mempengaruhi kemenangan pasangan calon nomor urut 2, yaitu Ratu Rachmatuzakiyah-Muhammad Najib Hamas. Hal tersebut melanggar Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 tentang Pilkada yang menjelaskan bahwa Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

MK berpendapat terdapat keterlibatan struktur aparat pemerintahan desa yang berkaitan erat dengan tindakan atau perbuatan baik yang disengaja maupun tidak disengaja yang dilakukan oleh Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Yandri Susanto -suami Ratu Rachmatuzakiyah- dalam kapasitasnya selaku pejabat negara. Pelanggaran tersebut berupa keberpihakan yang masif dari kepala desa di sejumlah desa di Serang terhadap Ratu-Najib.

Meskipun Yandri baru secara resmi dilantik sebagai Menteri Desa pada 21 Oktober 2024, Ia diketahui menghadiri Rapat Kerja Asosiasi Pemerintah Desa (APDESI) Kabupaten Serang pada 3 Oktober 2024. Lainnya, hal kedua yang dipermasalahkan MK yakni kehadiran Yandri dalam acara Haul dan Hari Santri di Pondok Pesantren miliknya pada Selasa, 22 Oktober 2024. MK menganggap kegiatan tersebut tergolong sebagai kampanye. Tidak hanya itu, merujuk pada tangkapan layar yang beredar, Menteri Yandri diduga menggunakan jabatannya sebagai Menteri Desa dan Daerah Tertinggal untuk mengumpulkan Kepala Desa, Ketua RT, Ketua RW, dan lainnya untuk menghadiri acara tersebut.

Kemenangan Ratu-Najib dengan 598.654 pada akhirnya dibatalkan oleh MK, dan MK memerintahkan KPU Kabupaten Serang untuk melaksanakan PSU di seluruh TPS dalam waktu paling lama 60 hari sejak putusan diucapkan.

Menteri Yandri dan Pilkada Serang 2024

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Yandri Susanto, memiliki keterkaitan dengan Pilkada Kabupaten Serang 2024 karena istrinya, Ratu Rachmatuzakiyah, adalah calon bupati yang semula dinyatakan menang dalam pemilihan tersebut. Dalam persidangan MK, ada dalil yang menyebutkan bahwa Yandri Susanto sebagai pejabat negara diduga terlibat dalam memenangkan istrinya.

Beberapa bukti yang ditemukan MK dalam persidangan adalah adanya konsolidasi yang melibatkan 227 kepala desa di Kabupaten Serang dalam acara resmi Kementerian yang Yandri pimpin yang dikemas sebagai kampanye terselubung. Selain itu, terdapat rekaman video yang mengindikasikan kepala desa terbuka menyatakan dukungan untuk pasangan Ratu-Najib tersebut.

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam pembacaan putusan menyatakan bahwa tindakan tersebut melanggar UU Pilkada yang melarang penggunaan jabatan atau wewenang untuk mempengaruhi hasil pemilu. Pelanggaran tersebut memenuhi kriteria pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM). Ia terbukti menggunakan fasilitas kementerian untuk mengundang kepala desa yang dikemas sebagai kegiatan kementerian. Selama masa kampanye, Yandri juga tercatat lebih sering mengunjungi desa-desa di Serang dan mengarahkan kepala desa untuk mendukung istrinya sebagaimana dilaporkan Bawaslu. Fakta-fakta tersebut menjadi penguat adanya dugaan pelanggaran pada prinsip netralitas kepala desa dalam Pilkada.

PSU Pilkada Serang

Putusan MK ini menegaskan pentingnya menjaga integritas dan transparansi dalam setiap tahapan pemilihan. Pelanggaran yang terjadi, baik yang bersifat administratif maupun yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan, dapat merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Dengan memerintahkan PSU, MK menunjukkan komitmennya untuk menegakkan keadilan dan memastikan bahwa suara rakyat benar-benar dihargai dan dihormati.​

Namun, keputusan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas pengawasan dan penegakan hukum dalam proses pemilihan. Jika pelanggaran yang signifikan dapat terjadi hingga memerlukan intervensi MK, maka perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme pengawasan dan penegakan hukum yang ada. Keterlibatan aparatur negara dalam proses pemilihan, seperti yang dituduhkan dalam kasus ini, harus dicegah melalui regulasi yang ketat dan penegakan hukum yang tegas.

Pelaksanaan PSU dalam waktu 60 hari tentu menjadi tantangan tersendiri bagi KPU Kabupaten Serang. Persiapan logistik, sosialisasi kepada masyarakat, dan memastikan bahwa pelanggaran serupa tidak terulang memerlukan koordinasi dan kerja keras dari semua pihak terkait. Selain itu, menjaga netralitas aparatur negara dan memastikan bahwa tidak ada intervensi dari pihak manapun menjadi kunci untuk menjamin bahwa PSU berjalan dengan jujur dan adil.​

Abuse of Power dalam Pemilu

Abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) dalam pemilu adalah tindakan di mana individu atau kelompok yang memiliki otoritas—baik itu pejabat negara, aparat pemerintahan, atau partai politik—menggunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi hasil pemilihan secara tidak adil. Penyalahgunaan ini dapat berupa intervensi dalam proses pemilu, manipulasi data, intimidasi pemilih, atau penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan kandidat tertentu.

Bentuk-bentuk penyalahgunaan dapat berupa mobilisasi aparatur negara, penyalahgunaan anggaran negara, dan intimidasi terhadap pejabat dan/atau pemilih. Pejabat publik menggunakan pegawai negeri, aparat keamanan, atau sumber daya pemerintah untuk memenangkan kandidat tertentu. Dana negara digunakan untuk kampanye, misalnya melalui program bantuan sosial yang dimanfaatkan untuk mendulang suara. Lainnya, praktik tersebut juga memaksa pejabat struktural di bawahnya atau masyarakat umum dipaksa atau diancam untuk memilih kandidat tertentu.

Ketika masyarakat melihat bahwa pemilu tidak berlangsung secara adil, mereka akan kehilangan kepercayaan pada sistem demokrasi. Ini bisa menyebabkan rendahnya partisipasi pemilih dan meningkatnya apatisme politik. Demokrasi yang sehat membutuhkan kompetisi yang setara. Jika satu kandidat atau partai mendapat keuntungan tidak adil melalui abuse of power, maka persaingan politik menjadi timpang, dan pemilu tidak lagi mencerminkan kehendak rakyat.

Penyelenggara pemilu, seperti KPU dan Bawaslu bisa kehilangan kredibilitas jika mereka tidak mampu mencegah atau menindak penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini melemahkan sistem demokrasi secara keseluruhan. Abuse of power dalam pemilu adalah ancaman serius terhadap demokrasi. Tanpa tindakan nyata untuk mencegah dan menindak praktik ini, pemilu hanya akan menjadi formalitas tanpa makna, di mana kekuasaan tidak benar-benar berasal dari rakyat.

Muh Afit Khomsani (Ketua Umum Netfid Indonesia)

MA Candidate in Political Science, Universitas Islam International Indonesia

Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts