Shopping cart

Magazines cover a wide array subjects, including but not limited to fashion, lifestyle, health, politics, business, Entertainment, sports, science,

  • Home
  • General
  • Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Pemilu di Indonesia
General

Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Pemilu di Indonesia

Email :52

Upaya perlindungan dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan dalam implementasinya. HAM juga belum sepenuhnya menjadi dasar dan tujuan penyelenggara negara dalam pengambilan kebijakan. Sebaliknya, beberapa kebijakan yang ada seringkali menimbulkan permasalahan tentang kesetaraan dan keadilan dalam upaya penghormatan terhadap sesama manusia. Misalkan, produk legislasi seperti Undang-undang (UU) Cipta Kerja dan UU Minerba mendapatkan kritik keras -bahkan penolakan- dari publik dikarenakan adanya dugaan terhadap pelanggaran HAM kaitannya dengan hak pekerja dan hak kehidupan yang layak atas pengelolaan lingkungan yang baik. Lainnya, publik juga dihadapkan pada lambatnya penyelesaian dugaan kasus pelanggaran HAM pada tragedi kematian ratusan orang di Stadion Kanjuruhan, Malang. Belum lagi, upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu belum dilakukan secara maksimal. Penuntasan pelanggaran HAM berat melalui jalur non-yudisal berpotensi melanggengkan impunitas bagi aktor utama pelanggaran HAM yang justru kini menempati jabatan di Pemerintahan dan melupakan hak-hak korban dan keluarganya.

Merujuk pada data Komisi Nasional HAM Republik Indonesia, jumlah pengaduan dugaan pelanggaran HAM pada tahun 2020-2021 adalah 7.523 laporan.[1] Lainnya, data Kementerian Hukum dan HAM RI tahun 2022 menyebutkan bahwa terdapat 1.291 laporan dugaan pelanggaran HAM, yang didominasi pelanggaran HAM atas kepastian hukum dan keadilan, dan hak atas kepemilikan dan perumahan.[2] Penegak hukum seperti Kepolisian dan perusahaan/korporasi banyak menjadi objek pelaporan dugaan pelanggaran HAM. Hal ini tentu menggambarkan permasalahan utama yang ada adalah penegakan hukum dan konflik antara masyarakat dengan entitas bisnis. Kepolisian sebagai institusi penegakan hukum justru seringkali terlibat dalam masalah hukum, kekerasan dalam prosesnya, dan ketidakadilan dalam penegakan hukum. Dugaan pelanggaran HAM yang melibatkan pihak korporasi banyak berkaitan dengan sengketa tanah, penggusuran, ketenagaakerjaan, pencemaran lingkungan, dan sebagainya.

Melampaui Pemahaman atas Hak Asasi Manusia di Indonesia

HAM merupakan kristalisasi atas berbagai sistem nilai dan filsafat manusia dan seluruh aspek kehidupannya. Artinya, fokus utama HAM adalah perlindungan dan penghargaan terhadap kehidupan dan martabat manusia. Gagasan HAM berasal dari teori hak kodrati atau natural rights theory, di mana semua invidividu manusia dikarunia secara natural melekat pada dirinya dan tidak dapat dicabut oleh siapapun, termasuk negara.

Merujuk pada Pasal 1 angka 1 UU Nomor 39 Tahun 1999, HAM dapat diartikan sebagai hak dasar manusia yang natural berasal dari Tuhan, yang tidak dapat dicabut oleh manusia lain sesama makhluk hidup. HAM juga didefinisikan dalam beberapa instrumen hukum Internasional. Pasal 1 the Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Selaras dengan hal tersebut, Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak Politik mengartikan HAM sebagai hak-hak yang berasal dari martabat dan inheren pada diri manusia tersebut. Dengan demikian, HAM merupakan hak yang diberikan Tuhan, bersifat melekat, kodrati, dan universal, yang akan mustahil jika manusia hidup tanpa HAM.

Akan tetapi dalam praktiknya di Indonesia, seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap pemaknaan Hak Asasi Manusia. HAM merupakan hak yang melekat pada setiap manusia, bukan pada hukum atau regulasi tertentu. Hak asasi adalah kebaikan untuk hidup manusia sehingga dapat memenuhi kebutuhan minimum martabatnya sebagai manusia. Hak tersebut muncul bahkan sebelum manusia lahir dan sampai ia setelah meninggal dunia, seperti hak untuk mendapatkan perlakukan penguburan yang layak.

Setidaknya terdapat 3 (tiga) kekeliruan dalam memahami HAM tersebut. Pertama adalahmispersepsi tentang HAM. Kita seringkali menganggap mempunyai hak asasi, namun pada saat yang sama menolak memberlakukan HAM kepada mereka yang benci atau bukan bagian dari kelompoknya, dengan perbedaan pandangan politik, sosial, ekonomi, orientasi seksual, agama, budaya, dan sebagainya. Dalam hal tertentu, penghargaan terhadap hak asasi kepada lainnya menggunakan standar ganda.

Kedua, hak asasi manusia harus tunduk pada kepentingan nasional. Sejak pertama kali manusia lahir, HAM telah melekat pada diri manusia tersebut, sedangkan konsep nasionalisme merupakan hal baru muncul. Hal itu merupakan 2 (dua) keadaan yang tidak dapat dibandingkan. Sebaliknya, konsep nasionalisme hadir untuk memastikan hak dasar manusia terpenuhi.

Ketiga adalah HAM tidak boleh melampaui nilai adat kultural. Dalam situasi ini, kita juga dihadapkan pada biasnya standar nilai kultural tersebut, sedangkan nilai adat atau kultural merupakan bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia yang melekat pada individu. Sebaliknya, nilai kultural tidak boleh digunakan untuk melakukan represi dan mendominasi hak asasi manusia lainnya. Lainnya, pada kondisi tertentu nilai kultural hadir untuk melindungi hak asasi dan juga bagian dari hak asasi tersebut. Akan tetapi, fakta sekarang banyak menunjukan adanya upaya pemisahan antara hak asasi dan nilai kultural, dengan kepentingan ekonomi dan politik di belakangnya.

HAM, Demokrasi, dan Pemilu

Dalam sistem politik yang demokratis seperti di Indonesia, HAM bertujuan sebagai pemaknaan menghormati sesama manusia dan menjadi salah satu ukuran penegakan hukum. Semua warga negara memiliki kedudukan yang sama. Idealnya, perluasan demokrasi membawa perbaikan secara kualitatif terhadap kesejahteraan rakyat. Tetapi pada faktanya, Indonesia masuk kategori flawed democracy (demokrasi yang cacat) seperti pemilu yang tidak bersih, pemerintahan yang korup, keterancaman pluralisme, pelanggaran HAM, kontrasnya sikap etnosentrisme, dan pengambilan kebijakan yang tidak bertujuan untuk kesejahteraan rakyat.

Kaitannya dengan Indonesia, hak-hak sipil dan politik rakyat kerapkali diamputasi dengan alasan mengganggu stabilitas negara dan hate speech. Banyaknya ditemukan instrumen hukum seperti UU ITE digunakan sebagai tameng bagi pemerintah untuk mengkerdilkan kebebasan berpendapat dan berekspresi yang telah dijamin dalam UUD 1945 pasal 28 dan pasal 28E ayat tiga (3). Lainnya ditemukan, penegak hukum (TNI dan Polri) bersikap konfrontatif dan represif terhadap rakyat dalam kasus perampasan lahan dan konflik agraria untuk memuluskan kepentingan korporasi tanpa memperhatikan bahwa rakyat itu adalah manusia dan hak asasinya dijamin serta dilindungi oleh konstitusi. Oleh sebab itu, memunculkan ketidakpercayaan publik terhadap istilah “kedaulatan berada di tangan rakyat” hanya sekedar slogan tanpa isi (bunyi-bunyian dalam perhelatan Pemilu).

Beberapa hal yang patut pula menjadi atensi adalah tentang keterwakilan perempuan untuk turut serta dalam politik, hak disabilitas dalam Pemilu, dan perlindungan hak pilih. Tiga hal tersebut menemukan urgensinya dalam menghadapi Pemilu 2024. Ini tantangan besar yang dihadapi Indonesia sebagaimana dijelaskan dalam the International Covenant on Civil and Political Right/ICCPR. Jika hal ini luput dalam suksesi Pemilu 2024, maka dapat dipastikan hak ekonomi, sosial dan budaya (EKOSOB) akan terkikis yang disebabkan oleh komposisi elite pemerintahan tidak bersesuaian dengan keinginan rakyat sehingga berpotensi menghancurkan sendi-sendi demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia.

Keterwakilan Perempuan dalam Politik

Akhir-akhir ini pembahasan gender menjadi hangat disebabkan ketetapan KPU dalam PKPU Nomor 10 Tahun 2023, pada pasal 8 ayat dua (2) terkait perhitungan pembulatan jumlah keterwakilan perempuan. Hal tersebut dianggap mendiskriminasi keterwakilan perempuan dalam politik utamanya di parlemen. Ini makin mempertegas bahwa Indonesia masih mengalami bias gender, dan kian mengikis harapan dalam upaya meningkatkan partisipasi perempuan sebagai political subject.

Keterlibatan perempuan saat ini di Indonesia menjadi permasalahan dengan rendahnya partisipasi dan kapabilitas perempuan dalam politik atau aktivitas publik. Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya partisipasi perempuan adalah adat serta budaya, sistem hukum, dan konstruksi sosial masyarakat yang masih patriarkis. Meskipun sebetulnya hak politik perempuan dijamin dalam konstitusi tetapi belum diimplementasikan seutuhnya.

Secara historikal, posisi perempuan hanya sebagai pelengkap dan “politik kosmetik” dalam setiap perhelatan demokrasi di Indonesia. Kondisi ini terjadi karena mengentalnya budaya patriarkis sehingga anggapan yang seringkali mencuat (stereotype) bahwa perempuan merupakan makhluk yang tidak berdaya dan kerap berbenturan secara psikologis tidak layak menduduki jabatan politik dan publik.

Sekurang-kurangnya ada empat (4) hal yang menghambat perempuan dalam politik di Indonesia. Pertama, rendahnya keterwakilan perempuan di ruang publik. Kedua, partai politik yang tidak memiliki komitmen terhadap keadilan gender dan masih kerap sensitif gender sehingga menutup “pintu” bagi perempuan masuk dalam gelanggang politik. Ketiga, terbenturnya nilai adat kultural yang menguatkan budaya patriarki. Dan terakhir, rendahnya animo perempuan untuk merambah dalam politik sebagai upaya mentransmisikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Kendati demikian, hak dan keterwakilan perempuan dalam politik ditegaskan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 dan UU Nomor 7 Tahun 2017. Adanya kuota 30% untuk perempuan dalam politik merupakan peluang besar sekaligus tantangan untuk meruntuhkan budaya patriarki dan hegemoni maskulinitas dalam jabatan politik maupun publik. Ini bersesuaian dengan inklusivitas politik perempuan telah menjadi norma internasional dan banyak negara telah menerapkannya secara konsisten untuk meningkatkan keterwakilan perempuan. Inklusivitas tersebut telah membawa hasil positif terhadap pembangunan bangsa dan negara sehingga kebijakan-kebijakan strategis yang diambil tepat sasaran dan berkeadilan dalam penegakan HAM.

Hak Disabilitas Dalam Pemilu

Indonesia menjadikan perlindungan HAM sebagaai asas dalam penegakan hukum. Asas tersebut tertuang dalam UU Dasar Tahun 1945 pasal 28 A-J. Lainnya, secara eksplisit Konstitusi Indonesia mengatur hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara, termasuk dalam representasi politik seperti hak untuk memilih dan dipilih (right to vote and rights to be candidate). Representasi politik sebagai salah satu asas negara demokrasi dapat dilihat dalam Pemilihan Umum, seperti keterlibatan masyarakat dalam menjalankan hak politiknya. Lebih lanjut, dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 21 ayat satu (1), setiap orang berhak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan negaranya, baik secara langsung maupun melalui wakilnya yang dipilih secara bebas.

Lainnya, prinsip-prinsip umum konvensi penyandang disabilitas dapat dilihat pada pasal 2 UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities). Di antaranya adalah penghormatan pada martabat yang melekat, otonomi individu termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan dan kemerdekaan perseorangan, nondiskriminasi, partisipasi penuh dan efektif, keikutsertaan dalam masyarakat, penghormatan pada perbedaan dan penerimaan penyandang disabilitas sebagai bagian keberagaman manusia dan kemanusiaan, kesetaraan kesempatan, aksesibilitas, dan sebagainya.

Hal di atas menegaskan bahwa kesetaraan sosial antara penyandang disabilitas dan non disabilitas memiliki hak yang sama dan kedudukan yang setara. Namun faktanya menunjukan hal yang sebaliknya. Kelompok disabilitas seringkali mengalami marjinalisasi dalam masyarakat. Para disabilitas belum memiliki kesempatan dan peluang yang sama dalam ruang politik maupun publik. Meskipun demikian, hak politik penyandang disabilitas harus diperhatikan dan dipenuhi. Merujuk pada daftar pemilih tetap (DPT) KPU RI, terdapat 0,54% dari 204.807.222 Pemilih atau 1.101.178 orang penyandang disabilitas terdaftar sebagai Pemilih pada Pemilu 2024.[3] Dengan jumlah sebanyak itu, penting diperhatikan dan dipenuhi hak politik penyandang disabilitas pada Pemilu 2024 karena keterlibatannya akan sangat menentukan perubahan masa depan bangsa dan khususnya perubahan yang berkeadilan bagi penyandang disabilitas untuk memastikan perlindungan hak asasinya di Indonesia.

Perlindungan Hak Pilih

Hak pilih merupakan hak konstitusional setiap warga negara untuk memilih wakil mereka dalam Pemilihan Umum. Hak ini merupakan salah satu hak politik dasar dalam sistem demokrasi, temasuk di Indonesia. Hak pilih dijamin oleh konstitusi, bahkan mendekati hak asasi manusia yang mendasar. Hak pilih memungkinkan setiap warga negara yang telah memenuhi syarat untuk ikut serta dalam menentukan pemerintahan dan kebijakan publik melalui Pemilihan Umum yang demokratis.

Kaitannya dengan Pemilu 2024, hak pilih merupakan salah satu cara untuk melibatkan warga negara dalam proses demokrasi, memastikan representasi yang adil, serta mewujudkan kehendak rakyat dalam pengambilan kebijakan yang adil dalam rangka meningkatkan kesejahteraan, memperkokoh kedaulatan rakyat, dan menjamin penegakan HAM di Indonesia. Betapa pentingnya hak pilih tersebut merupakan bagian tak terpisahkan perlindungan dan penghormatan terhadap HAM sebagaimana termuat dalam pasal 22E ayat satu (1) UUD 1945.

Namun demikian, pentingnya perlindungan hak pilih untuk mempertegas kesadaran politik pemilih tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun dan disalahgunakan pihak tertentu demi memenuhi hasrat kekuasaan. Upaya perlindungan hak pilih dalam berbagai peraturan perundang-undangan termuat secara eksplisit bahwa bagi siapapun (pelaku) yang mengganggu dan menyalahgunakan hak pilih setiap individu atau warga negara akan diberikan sanksi tegas yang cukup variatif seperti sanksi pidana.

Dalam setiap perhelatan Pemilu, sangat seringkali terjadi pelanggaran dan kecurangan. Salah satunya adalah penyalahgunaan hak pilih. Sedikitnya terdapat lima modus operandi yang dapat menyebabkan hilang atau dihilangkannya hak pilih seseorang. Pertama, kasus pemutakhiran data pemilih dimana pemilih tidak terdaftar sebagai pemilih sementara dan sistem pendataan pemilih tidak update sehingga pemilih tidak tercantum dalam DPT dan hak suaranya dihilangkan. Kedua, Penyelenggara Pemilu di tingkat TPS yang tidak netral atau kinerjanya tidak profesional yang berakibat hilangnya hak pilih seseorang. Ketiga, perusahaan atau pelaku usaha yang tidak meliburkan karyawannya dan tidak memberikan kesempatan kepada karyawannya untuk memilih pada hari pemungutan suara. Keempat, provokasi untuk golput sebagai ekspresi kekecewaan terhadap pelaksanaan pemerintahan. Kelima, intimidasi yang dilakukan kontestan kepada pemilih, baik secara verbal, fisik, dan langsung.


[1] Lihat https://dataindonesia.id/varia/detail/komnas-ham-terima-2729-pengaduan-pelanggaran-ham-pada-2021, diakses pada 29 Juli 2023, Pukul 09.03 WIB

[2] Lihat https://ham.go.id/pusat-data/data-pengaduan-ham/2022-2/, diakses pada 29 Juli 2023, Pukul 09.07

[3]    Lihat https://news.republika.co.id/berita/rx7oiu436/11-juta-penyandang-disabilitas-terdaftar-sebagai-pemilih-pemilu-2024, diakses pada 05 September 2023, Pukul 20.40 WIB

Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts