Shopping cart

Magazines cover a wide array subjects, including but not limited to fashion, lifestyle, health, politics, business, Entertainment, sports, science,

  • Home
  • Berita
  • Regional
  • Pemungutan Suara Ulang: Antara Keadilan Substantif dan Legitimasi Publik
Opini

Pemungutan Suara Ulang: Antara Keadilan Substantif dan Legitimasi Publik

Email :49

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal perselisihan hasil pemilihan (PHP) kepala daerah Kabupaten Gorontalo Utara menjadi catatan menarik untuk melihat distorsi antara dua kutub analisa sosial politik. Pertama, putusan MK bisa ditinjau dari Keadilan Substantif, dan yang kedua adalah Legitimasi Publik. Dua hal ini memantik saya untuk merespon apakah Putusan tersebut mampu merefleksikan keduanya atau berhenti pada salah satunya?

Kabupaten Gorontalo Utara kini menjadi perhatian publik. Selain harus melaksanakan Pemungutan Suara Ulang (PSU), algoritma putusan MK memancing dua pembahasan yang cukup serius dalam perhelatan Pilkada serentak. Sebenarnya, ketika kita melihat bahwa prosedur hukum yang diatur dalam Undang-Undang (UU) untuk menggugat hasil Pemilu atau Pilkada adalah MK. Di situlah pembuktian hukum dan ‘perang’ argumentasi dari pihak-pihak untuk mencari keadilan substantif dalam proses elektoral lima tahunan tersebut.  Namun transformasi MK dalam perjalanan Pemilu di Indonesia juga terjadi, baik dari formasi hakim, tafsir aturan, juga pada catatan publik tentang stigma Mahkamah Kalkulator.

MK pasca putusan 90 yang merevisi batas minimal usia Calon Presiden-Wakil Presiden, memulai sebuah perubahan signifikan dalam hal progresivitas memutus perkara-perkara Pemilu. Mungkin kita bisa melihat Putusan MK tentang PHPU Pilpres yang melahirkan dissenting opinion pertama dalam sejarah sengketa Pilpres, Putusan 70 yang mengatur syarat usia kepala daerah, dan juga Putusan MK 60 tentang ambang batas pencalonan kepala daerah. Ketiganya, memberikan sinyalemen ke publik bahwa untuk PHP Pilkada, MK akan bergeser pada konstruksi proses dan tidak lagi melulu pada hasil.

Pilkada 2024 Gorontalo Utara

Sebenarnya ketika mengacu pada hal tersebut, Putusan MK yang dikhususkan pada Kabupaten Gorontalo Utara telah sejalan dengan proses  menggali kembali status hukum dari salah satu pasangan calon, yang diawali oleh verifikasi KPU Gorontalo Utara dan sidang sengketa di Bawaslu Gorontalo Utara. Namun yang perlu dicermati adalah bahwa MK memberikan tafsir yang korelatif antara status mantan terpidana dengan terpidana percobaan. Ketentuan ini mengingatkan saya pada peristiwa pencalonan mantan Gubernur Gorontalo pada 2018 silam, bedanya, sang petahana mengambil proses Judicial Review (JR) UU 10 Tahun 2016 khususnya pasal 7 ayat 2 huruf g. Mahkamah saat itu mempertegas bunyi pasal tersebut dengan spesifik ”tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana ke alpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.

Tafsir ini memberikan tiket pada mereka untuk maju dan berkontestasi pada perhelatan Pilkada. Sebenarnya, di awal kasus Kabupaten Gorontalo Utara, saya percaya yurisprudensi dari upaya JR tersebut mampu untuk menjadi dasar penyelenggara pemilu untuk mengambil keputusan. Apalagi ketika pokok perkara pemohon memasukkan itu dalam gugatannya di MK.

Namun pada faktanya, putusan MK mengubah pandangannya tentang penggunaan Pasal tersebut, MK mendiskualifikasi pasangan Ridwan Yasin dan Muksin Badar serta memberikan hadiah Pemungutan Suara Ulang (PSU) secara keseluruhan pada proses Pilkada Gorontalo Utara. Dengan fakta putusan tersebut jelas punya implikasi  pada legitimasi publik yang ditandai dengan  perolehan suara yang telah dilaksanakan pada 27 November lalu.

Yang menarik bahwa, perintah untuk mengadakan PSU karena diterimanya sebagian permohonan pemohon Thariq-Nurjanah atas keabsahan Ridwan Yasin sebagai calon Bupati, sementara permohonan yang mempermasalahkan ijazah Roni Imran sebagai Paslon pemenang tidak terbukti dan ditolak oleh Majelis. Ketika kita melihat fakta perolehan suara, pasangan Roni Imran dan Ramdhan Mapaliey mendapat suara terbanyak dengan jumlah 41.842 suara, peringkat kedua pasangan Thoriq dan Nurjanah 29.283 suara dan yang ketiga pasangan Ridwan Yasin dan Muksin Badar dengan perolehan 5.104 suara.

Dengan skema perolehan suara ini, tingginya suara Roni dan Ramdan, melambangkan legitimasi atas keduanya sah dan tuduhan cacat administrasi juga tidak terbukti. Pandangan ini yang menurut saya tidak searah dengan keadilan substantif yang hendak dicari di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, semacam kesalahan yang diputus dilakukan orang lain, namun pasangan lainnya ikut menanggung akibat dari hal tersebut. Sementara ketika dugaan itu berpengaruh pada perolehan suara, bukti rekapitulasi KPU sangat tidak menggambarkannya, bahkan ketika suara pemohon dan pasangan nomor urut 3 disatukan. Memang, ketika kita masuk dalam ranah proses di KPU dan Bawaslu, konstruksi keadilan itu masih bersifat opsional karena masih punya ruang pengujian hukum, namun ketika masuk pada ranah peradilan MK, resonansi atas putusan keadilan harus korealtif dengan legitimasi publik. Disitulah hubungan yang banyak orang tuntut, tafsir proses dan hasil harus beriringan dengan fakta yang terjadi.

Keadilan Substantif dan Legitimasi Publik dalam PHP Pilkada

Keadilan substantif dan legitimasi publik dalam Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Pilkada merupakan dua prinsip penting dalam menjaga demokrasi yang sehat. Keadilan substantif menekankan pada keputusan yang tidak hanya berdasarkan aturan formal, tetapi juga mempertimbangkan nilai keadilan yang lebih luas, seperti perlindungan hak pilih, kejujuran, dan transparansi dalam pemilu. Dalam konteks PHP Pilkada, Mahkamah Konstitusi atau lembaga yang berwenang harus memastikan bahwa setiap keputusan benar-benar mencerminkan kehendak rakyat dan tidak hanya terpaku pada aspek prosedural.

Sementara itu, legitimasi publik berkaitan dengan kepercayaan masyarakat terhadap proses dan hasil pemilu. Legitimasi ini dapat terwujud jika penyelesaian sengketa dilakukan secara transparan, imparsial, dan dapat dipertanggungjawabkan. Keputusan yang tidak hanya adil secara hukum, tetapi juga dapat diterima secara sosial dan politik, akan mengurangi konflik pasca-pemilu serta meningkatkan stabilitas demokrasi. Dengan demikian, penerapan keadilan substantif dalam PHP Pilkada berkontribusi pada legitimasi publik, karena masyarakat akan merasa bahwa proses hukum benar-benar mencerminkan keadilan dan kejujuran, bukan sekadar formalitas hukum yang kaku.

Dari dua perspektif tersebut, eksekusi keadilan substantif dan legitimasi publik harus bisa seiring sejalan dan seimbang. Memang asas keadilan ketika ditarik dari ruang filosofis bersifat subjektif. Karena, bisa dipandang dari kacamata bias dukungan calon. Namun rasionalitas publik dalam memaknai putusan punya ruangnya sendiri dalam proses elektoral. Jikalau MK abai akan hal tersebut, proses dinamika elektoral akan krisis secara legitimasi.

Penulis: Eka Putra B Santoso

Ketua Netfid Provinsi Gorontalo/ Ketua Lakpesdam NU Kota Gorontalo

Penulis

Related Tags:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts