Jakarta, NETFID Indonesia – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal sudah termaktub dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang telah dibacakan oleh para hakim MK, pada Kamis (26/6/2025). Keputusan tersebut menghasilkan putusan bahwa pada palagan politik 2029 sudah mulai dipisah pelaksanaan proses elektoralnya antara nasional dan daerah.
Dalam konteks ini, kontestasi elektoral di tingkat nasional mencakup pemilihan presiden, DPR, dan DPD. Sementara itu, dalam konteks DPRD, gubernur, bupati dan wali kota akan digelar dengan jeda waktu selama 2,5 tahun. Dalam bahasa lain, pelaksanaannya baru bisa terlaksana pada rentang waktu 2031.
Meski begitu, putusan MK ini dinilai kontradiktif terhadap UUD 1945 yang mensyaratkan pelaksanaan proses elektoral dilakukan secara reguler atau lima tahun sekali, sebagaimana tertuang dalam klausul Pasal 22E UUD 1945.
Di samping itu, keputusan politik ini memunculkan narasi silang pendapat antara para elite partai politik dan masyarakat. Pasalnya, dalam persepsi elite politik (governing maupun non-governing) dinilai MK telah melampaui batas sekaligus menciptakan norma baru.
Oleh karena itu, setelah putusan MK ini ditetapkan, para elite politik mencoba menghidupkan kembali narasi revisi UU MK. Meski demikian, revisi tersebut sudah berjalan pada kepemimpinan politik sebelumnya.
Jika ada ketertautan (linkage) antara putusan MK tersebut dengan revisi UU MK yang menjadi sikap DPR maupun pemerintah, tentu sikap ini secara integral cukup reaktif, karena berupaya untuk mengalienasi kewenangan MK. Namun, di sisi yang lain, dalam konteks pengambilan keputusan semestinya para hakim MK juga turut mempertimbangkan keputusan tersebut, terlebih adanya jeda waktu antara kontestasi di pusat dan daerah.
Artinya, hakim MK tidak boleh mengabaikan norma hukum yang berada di atasnya, sebagaimana yang muncul dalam persepsi para elite politik. Sebab, jika ada jeda waktu tentu akan ada kekosongan kepemimpinan, bukan hanya sekadar gubernur atau bupati, melainkan DPRD.
Dengan demikian, putusan MK juga perlu merefleksikan ketiadaan pemimpin yang ada di DPRD, terlebih secara proporsional kursi antardaerah pemilihan tentu berbeda dan hal ini bisa berimbas kepada kekosongan jabatan di DPRD.
Padahal, demokrasi telah mensyaratkan perlunya kesetaraan politik, kebebasan sipil, dan partisipasi. Selain itu, efeknya bagi publik ialah tertutupnya struktur peluang politik publik, yang seharusnya palagan politik digelar pada 2029, justru harus menunggu selama 2,5 tahun. Dengan kata lain, seharusnya perlu mekanisme alternatif atau skema politik ideal yang tidak melanggar ketentuan norma hukum.
Keputusan ini dikabulkan tentu merujuk pada pengalaman proses elektoral yang diperhelatkan secara serentak yang memengaruhi kesehatan para penyelenggara pemilu, konsentrasi yang terfragmentasi, kejenuhan para pemilih, ketiadaan calon alternatif, partai politik yang cenderung pragmatis dalam menentukan kandidat sekaligus melemahnya kelembagaan partai politik. Dengan demikian, ihwal ini juga turut berimplikasi terhadap kualitas pemilu maupun pilkada.
Secara faktual, imbasnya, salah satunya ialah memunculkan suara tidak sah (invalid vote) terhadap pelaksanaan Pemilu maupun Pileg. Sebagai contoh, misalnya, pada Pileg 2019 suara tidak sah ini mencapai 17,5 juta suara atau 11,12 persen dan pada Pemilihan Presiden 2019 suara tidak sah mencapai 3,7 juta suara atau sekitar 2,38 persen.
Pada Pemilu dan Pileg 2024 juga ditemukan suara tidak sah yang relatif tinggi pada Pileg 2024, yakni sebesar 15,8 juta suara dan di palagan politik seperti Pilpres 2024 ditemukan sebesar 4,1 juta suara. Dengan demikian, terlihat adanya faktor keserentakan pemilu lima kotak suara ini mengakibatkan hilangnya jutaan suara pemilih karena tidak sah. Hal ini ditengarai karena faktor keserentakan yang tidak disertai oleh pendidikan politik yang komprehensif kepada para pemilih.
Di satu sisi, keputusan MK ini tentu bersifat final dan mengikat yang perlu dibahas atau direspons oleh para elite politik, terutama oleh DPR dan pemerintah. Namun, tampaknya para elite politik cenderung lebih berhati-hati dengan narasi mengkaji terlebih dahulu atas keputusan tersebut, atau secara implisit penulis melihat ada sikap politik yang mengarah kepada penolakan terhadap putusan tersebut.
Keuntungan yang diterima oleh para pemilih tentu karena tidak akan mengalami kebingungan saat menentukan pilihannya pada palagan politik, karena terpisahnya pelaksanaan pemilu nasional dan lokal dan tidak akan mengalami kejenuhan.
Kendati demikian, keputusan tersebut juga tidak bisa disangkal bisa merugikan bagi publik lainnya yang memiliki prospektif untuk bisa berlaga dalam proses elektoral sesuai durasi pemilu maupun pilkada yang lazimnya digelar secara reguler – lima tahun sekali.
Apabila ada keputusan untuk memperpanjang masa jabatan anggota DPRD tentu akan menguntungkan bagi para politikus di parlemen tingkat daerah, karena mereka bisa menutup kans politik publik untuk bisa melenggang menjadi politikus sekaligus mengalienasi sirkulasi elite karena pelaksanaannya yang baru digelar 2,5 tahun setelah pemilu presiden, DPR, dan DPD.
Sementara itu, apabila proses elektoral tersebut dipisah, efek bagi para elite politik nasional yang berada di parlemen tentu akan sangat merugikan, karena tidak ada masa jabatan yang ditambah – jika opsi perpanjangan durasi jabatan terealisasi.
Dengan kata lain, sudah tentu akan menimbulkan kegaduhan antara sikap politikus di tingkat daerah dan politikus di tingkat nasional. Meski demikian, secara kekuasaan – tampaknya para politikus yang berada di Senayan, Jakarta, cenderung memiliki kekuatan superior.
Akibatnya, para politikus di daerah akan mengikuti keputusan yang ada di tingkat pusat, terlebih berada di partai politik yang sama.
Imron Wasi, Manager Riset dan Advokasi Publik Netfid Indonesia dan Akademisi Ilmu Pemerintahan di Universitas Pamulang.