Kemenangan Ferdinand Marcos Jr. pada Pilpres Filipina 2022 memunculkan beberapa catatan menarik, terutama kaitannya dengan perkembangan demokrasi baik bagi domestik Filipina maupun dunia internasional. Marcos Jr. atau Bongbong Marcos berhasil unggul telak pada quick count atau hitung cepat Pilpres Filipina yang diselenggarakan pada Senin, 9 Mei 2022. Ia mendapatkan mayoritas suara pemilih, dan mengalahkan kandidat kuat lainnya seperti Leni Robredo -Wakil Presiden Filipina saat ini yang juga terkenal sebagai aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Marcos Jr. diprediksi akan menang mudah pada Pilpres tahun ini, dan akan berpasangan dengan Sara Duterte -putri dari Presiden Filipina Rodrigo Duterte- yang juga unggul pada hitung cepat Pilwapres.
Bongbong Marcos merupakan putra dari eks diktator Filipina, Ferdinand Emannuel Edralin Marcos atau Marcos Sr. yang berkuasa pada tahun 1965 hingga 1986. Marcos Sr. dilengserkan melalui protes dan demonstrasi besar “People Power Revolution” atas kejahatan megakorupsi dan pelanggaran HAM berat selama lebih dari 20 tahun kekuasaannya. Mengutip beberapa sumber, nilai korupsi rezim Marcos Senior mencapai sekitar USD 10 miliar, atau lebih dari 140 triliun rupiah (kurs saat ini). Ia kemudian digantikan oleh Cory Aquino, istri Benigno Simeon Aquino, seorang tokoh penentang kediktaroran Marcos Senior.
Setelah kepulangan dari pengasingannya di Hawai pada 1991, Bongbong Marcos memulai lagi karir politiknya. Beberapa jabatan strategis pernah ia tempati, mulai dari gubernur Ilocos Norte (1983-1986, 1998-2007), anggota DPR Filipina (1992-1995, 2007-2010), hingga Senat Filipina (2010-2016). Bongbong Marcos juga pernah maju dalam Pilwapres Filipina pada 2016, namun ia kalah tipis dari Leni Robredo dengan selisih suara sekitar 263 ribu suara.
Kekalahan tersebut nampaknya menjadi pemicu Marcos Jr. untuk kembali bertarung pada Pilpres Filipina tahun ini. Lebih dari itu, Bongbong Marcos merasa bahwa Pilpres ini juga merupakan momentum yang tepat untuk mengembalikan puncak kejayaan Rezim Marcos Sr. yang tersingkir pada 36 tahun silam. Merujuk pada kampanye Bongbong Marcos, ia banyak terinspirasi oleh keberhasilan dan pencaipaian ayahnya dalam membangun Filipina. Dengan mengusung jargon UniTeam, Bongbong Marcos berkomitmen menyatukan semua elemen masyarakat Filipina untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Menyoroti Faktor Kemenangan Marcos Junior
Sebagai politisi senior, Bongbong Marcos paham betul situasi politik dan peta elektoral Filipina hari ini. Selain pilihan koalisi dengan rezim Duterte yang berkuasa saat ini, kemenangan Marcos Jr. merupakan puncak kembalinya kekuataan politik keluarga Marcos setelah redup sejak 1986. Dengan memanfaatkan platform digital, sejak lebih dari satu dekade yang lalu Marcos Jr. telah berfokus pada upaya mengembalikan citra politik keluarganya untuk mendapatkan kembali simpati rakyat Filipina.
Banyak sumber menyebutkan bahwa Marcos Jr. dan tim politiknya melakukan kampanye kebohongan, pengaburan fakta, dan penyebaran informasi palsu tentang dirinya dan keluarganya. Melalui beragam kanal di media sosial, Marcos Junior banyak mencitrakan kekuasaan ayahnya sebagai rezim yang memberikan kesejahteraan dan peduli akan nasib warganya.
Ia juga berhasil mencitrakan dirinya sebagai kandidat yang tepat untuk perubahan, kesejahteraan dan persatuan masyarakat Filipina. Kampanye Bongbong Marcos melahirkan banyak mitos yang dipercayai banyak masyarakat Filipina, di antaranya adalah adanya keyakinan bahwa jika Marcos Junior berkuasa semua hartanya akan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat Filipina. Merujuk pada riset Tsek.ph, terdapat 92 persen hoax tentang sanjungan kepada Bongbong Marcos.
Tidak hanya strategi framing issues, keberhasilan Marcos Jr. juga erat kaitannya dengan penguasaan sektor politik, ekonomi, dan sosial oleh keluarga dan kroni Marcos, utamanya di tengah dan utara Filipina. Pada saat yang sama, koalisi dengan Sara Duterte juga memberikan keuntungan bagi Bongbong Marcos untuk memperoleh akses dukungan politik dan kekuasaan yang luas dari Presiden Rodrigo Duterte.
Populisme Politik
Keberhasilan Bongbong Marcos pada Pilpres Filipina membuktikan bahwa politik populis masih ampuh untuk memenangkan persaingan politik. Bagi Filipina, populisme politik bukanlah sesuatu yang baru. Beberapa figur presiden sepeti Joseph Estrada dan Rodrigo Duterte merupakan pemimpin yang cukup popular -meskipun kontroversial- dan tak jarang memanfaatkan popularitasnya untuk mendukung ambisi politiknya. Presiden Duterte, misalnya, mendapatkan banyak simpati dari rakyatnya secara luas terkait kebijakan perang melawan peredaran narkoba. Duterte tak jarang menghukum mati pelaku kejahatan meskipun dunia internasional keras mengecam kebijakan tersebut.
Mengutip Koen Abts dan Setfan Rummens dalam Populism versus Democracy, kecenderungan politik populis merupakan reaksi atas ketidakpercayaan sebagian besar masyarakat terhadap institusi sosial dan politik di negara terkait. Lainnya, populisme politik menjadikan masyakat lebih mempercayai figur atau tokoh tertentu dibanding mekanisme dan institusi politik yang demokratis. Situasi ini kemudian pada akahirnya akan memperlemah demokrasi.
Dalam konteks keberhasilan Bongbong Marcos, meningkatnya populisme politik disebabkan oleh beberapa faktor yang kompleks. Pertama, kembalinya Klan Marcos pada kekuasaan tertinggi di Filipina membuktikan gagalnya sistem politik demokrasi untuk menghasilkan figur pemimpin yang baik. Menurut Nathan Gilbert Quimpo dalam artikelnya yang berjudul The Philippines: predatory regime, growing authoritarian features menjelaskan bahwa kondisi tersebut diakibatkan oleh tidak adanya political will dari para elit. Revolusi dan lahirnya Konstitusi Filipina 1987 tidak mampu melahirkan sistem politik yang demokratis. Meskipun terdapat partai politik dan pemilu, politik dinasti dan kepemimpinan patrimonial masih banyak terjadi di Filipina.
Kedua, pada saat yang sama masyarakat Filipina tengah mengalami krisis dan lambatnya pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19. Situasi krisis dan rendahnya literasi politik masyarakat akibat framing issues mendorong lahirnya apatisme politik dan ketidakpedulian terhadap figur-figur politik yang ada. Hal ini menjadikan popularitas dan ketokohan figure sebagai preferensi utama masyarakat Filipina untuk memilih.
Ketiga, keberhasilan Marcos Junior juga dipengaruhi oleh lemahnya kelompok oposisi yang mampu menandingi koalisi Marcos-Duterte. Dalam hal ini, kooptasi elit terhadap mayoritas partai politik menjadikan institusi tersebut gagal untuk melakukan deterrent terhadap perilaku curang penguasa. Pada Pilpres kali ini, kelompok anti-Marcos terpecah menjadi sembilan kandidat, termasuk penantang utama Marcos yaitu Leni Robredo. Tidak solidnya kelompok penyeimbang tersebut kemudian menjadikan tidak adanya narasi yang cukup untuk melawan arus besar kepalsuan keluarga Marcos.
Kaitannya dengan demokrasi, populisme politik pada akhirnya hanya akan menghasilkan politik eksklusif yang mempunyai kecenderungan menekan institusi-institusi demokrasi. Politik populis akan berkembang sesuai dengan akar sejarahnya di masa lalu, di mana kematian demokrasi muncul selaras dengan menguatnya otoritarianisme pemerintahan.
Kekalahan Demokrasi
Kembalinya rezim Marcos di Filipina nampaknya tidak akan berdampak signifikan terhadap perkembangan demokrasi di negara kepulauan tersebut. Sebaliknya, kecenderungan otoritarianisme muncul seiring dengan menguatnya praktik politik populis.
Lebih lanjut lagi, pemanfaatan saluran publik (termasuk sosial media) untuk menyebarkan kebohongan semakin menegaskan bahwa demokrasi liberal rentan ditunggangi oleh kelompok kepentingan. Hal ini juga diperparah oleh ketidakmampuan aktor demokrasi lokal dan internasional untuk menyajikan alternatif figur politik dan wacana politik tandingan bagi masyarakat Filipina.
Bagi kelompok anti-Marcos dan pejuang demokrasi di Filipina, terpilihnya Marcos Jr. sebagai penguasa tertinggi di Filipina adalah kekalahan terbesar sekaligus pukulan menyakitkan. Perjuangan mereka untuk mendapatkan keadilan atas kejahatan dan kekejian rezim Marcos Sr. pada masa lalu nampak sia-sia. Banyak kekhawatiran muncul bahwa rezim Marcos Sr. ada pada diri Bongbong Marcos, dimana ia mempunyai karakteristik yang sama dengan Marcos Sr., yaitu seorang figur politik yang korup, ambisius, dan otoriter.
Lainnya, keberhasilan Bongbong Marcos mengalahkan Leni Reobredo dapat dilihat sebagai wujud kemenangan otoritarianisme populis atas demokrasi. Hal ini merujuk pada figur kedua kandidat, di mana Bongbong Marcos mewakili politik dinasti, otokrasi, dan impunitas; sedangkan, Leni Robredo merupakan representasi dari integritas, akuntabilitas, dan demokrasi.
Melalui strategi framing issues, tim politik Marcos Jr. berhasil memanfaatkan apatisme politik dan keputusasaan sebagian besar masyarakat Filipina atas kondisi yang ada. Alih-alih berupaya menyelesaikan dosa dan kejahatan ayahnya, Bongbong Marcos justru terkesan menghindar, dan sebaliknya, ia rajin memperlihatkan kepada publik bahwa seolah-olah kekuasaan Marcos Sr. adalah baik dan tidak ada kejahatan. Dengan tidak adanya political will dari Marcos Jr. yang dibarengi dengan buruknya sistem politik dan lemahnya kelompok masyarakat sipil di Filipina, bukan tidak mungkin sejarah kediktaroran Marcos Sr. akan terulang pada diri Bongbong Marcos.
Hal inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan, bagaimana aktor politik dengan sejarah yang kelam seperti Klan Marcos mampu hadir kembali dan tetap mendominasi politik Filipina? Lantas, bagaimana proses demokratisasi yang hampir 40 tahun berlangsung di sana? Apakah kembalinya Klan Marcos di Filipina merupakah puncak dari kekalahan demokrasi yang selama ini diperjuangkan?
—
Muh Afit Khomsani. Menyelesaikan program Magister Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Indonesia, Afit kini menjadi Ketua Umum Network for Indonesian Democratic Society atau Netfid Indonesia. Afit aktif mengikuti forum pemuda baik nasional maupun internasional. Beberapa karyanya dapat ditemukan di internet dalam bentuk artikel ilmiah, laporan penelitian, dan opini di media massa.