Jakarta, NETFID – Putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan palagan politik di tingkat nasional dan lokal berdasarkan keputusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang telah diputuskan pada Kamis (26/6/2025) di Jakarta oleh para hakim telah menuai perdebatan politik sekaligus memunculkan sikap penolakan dari partai politik.
Pada dasarnya, keputusan ini tentu memiliki implikasi secara politik, termasuk plus dan minusnya sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya pada artikel yang berjudul, “Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal: Menguntungkan Elite Politik atau Publik? (I)”.
Di samping itu, keputusan yang mengatur proses politik ini juga dinilai oleh sebagian besar elite partai politik cenderung tidak baik, karena melampaui kewenangan lembaga sekaligus bertentangan dengan UUD 1945. Salah satu partai politik yang secara tegas sudah menolak adalah Partai Nasdem.
Selebihnya, partai politik koalisi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka juga menilai dengan pandangan yang serupa. Oleh karena itu, sikap partai politik di parlemen cenderung sangat reaktif terhadap keputusan tersebut, sebagaimana DPR langsung membahas putusan dan memunculkan opsi untuk merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Meski begitu, DPR membantah bahwa revisi Undang-Undang MK ini tidak berkaitan dengan adanya keputusan politik tersebut. Namun, dari serangkaian keputusan Mahkamah Konstitusi yang pernah bergulir, pada umumnya, terutama yang berkelindan terhadap elite politik dan para kapital cenderung akan direspons secara cepat oleh DPR atau bahkan mengalienasi wewenang para hakim tersebut.
Dengan kata lain, bisa saja kewenangan para hakim di lembaganya bisa ‘dibidik’ oleh DPR dengan mengubah tata aturan di DPR, karena dinilai tidak akomodatif terhadap kepentingan elite partai politik, politikus, maupun para kapital.
Sehingga, hal ini memperlemah posisi para hakim dalam memutuskan perkara-perkara yang sifatnya bisa berimbas kepada para elite, politikus, maupun para kapital. Akibatnya, para hakim tidak berdaya atas intervensi kekuasaan melalui peraturan perundang-undangan tersebut, dan akan bermuara terhadap akomodatifnya para hakim terhadap kepentingan para elite politik.
Imbasnya, sistem politik tidak akan terlembaga secara baik dan sistem pemerintahan yang akan tertatih-tatih karena tidak adanya check and balances secara komprehensif. Sikap politik para elite partai politik dan politikus ini mengandaikan bahwa mereka – baik secara eksplisit maupun implisit tampak menolak kehadiran keputusan tersebut karena dinilai turut memengaruhi biaya politik peserta pemilu, baik kandidat calon politikus di parlemen maupun partai politik, terutama pelaksanaan pemilu yang digelar secara terpisah ini akan meningkatkan biaya penyelenggaraan.
Meski demikian, keputusan ini juga memberikan keleluasaan kepada publik untuk fokus dan lebih dekat dengan para kandidat dan partai politik yang berlaga pada arena politik, baik pemilu nasional maupun lokal. Sebelumnya, terutama saat pergelaran politik digelar secara serentak, pemilih cenderung tidak fokus terhadap para kandidat dan gagasan politiknya yang mengakibatkan tidak dekatnya pemilih dengan para peserta politik.
Tak ayal, tingkat kedekatan pemilih terhadap partai politik juga sangat lemah, sebagaimana survei yang telah dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia pada 2021 yang menilai bahwa Party ID pemilih cenderung lemah. Sebab, hanya 6,8 persen pemilih yang merasa dekat dengan partai politik. Selebihnya, 92,3 persen tidak dekat partai politik dari total 1.200 responden.
Secara realitas politik tersebut, partai politik tidak bisa menafikan fakta ini, karena partai politik cenderung lebih pragmatis dan mengabaikan aspirasi konstituen, pemilih, dan masyarakat. Dalam bahasa lain, keberpihakan partai politik terhadap kepentingan publik masih belum maksimal dilakukan sekaligus mencerminkan belum terlembaganya partai politik secara ideal.
Padahal, partai politik disebut sebagai sebuah entitas politik modern, yang semestinya bisa adaptasi secara inklusif dan cepat. Hal ini ditengarai karena pemilh cenderung tidak percaya terhadap partai politik, karena seringkali mengecewakan pemilih.
Selain itu, faktor kesentakan ini menutup problematika daerah karena cenderung fokus terhadap palagan politik nasional. Dengan demikian, keputusan ini dinilai bisa memberikan kefokusan secara maksimal terhadap pemilih untuk bisa memilih kandidat yang ideal di pandangan pemilih yang berlaga di Pemilihan Presiden, Pemilihan Legislatif, dan Pemilihan Kepala Daerah.
Terpisahnya pemilu nasional dan lokal juga turut memberikan kesempatan kepada publik untuk memberikan reward dan punishment terhadap kandidat dan partai politik sekaligus partai politik diharapkan juga bisa memperbaiki kelembagaan partai politik melalui rekruitmen politik dan kaderisasi internalnya, agar bisa mengusung kadernya di pemilu, pileg, maupun pilkada.
Kemudian, munculnya wacana untuk merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ini juga dinilai sebagai bentuk kegusaran elite partai politik, karena turut memengaruhi para elite politik, politikus, dan para kapital. Sementara itu, keputusan MK ini juga dinilai bisa memupus harapan Presiden Prabowo Subianto untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD (Tempo.co, 2025).
Imron Wasi, Manager Riset dan Advokasi Publik Netfid Indonesia dan Akademisi Ilmu Pemerintahan di Universitas Pamulang.