Jakarta (16-09-2025)-Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 731 Tahun 2025 yang menutup akses publik terhadap dokumen persyaratan calon presiden dan wakil presiden dinilai sebagai pukulan telak bagi demokrasi Indonesia. Meski akhirnya dicabut setelah gelombang protes, kegaduhan ini meninggalkan jejak luka serius: krisis kepercayaan publik terhadap integritas Pemilu.
Netfid Indonesia menyebut keputusan tersebut sebagai langkah fatal yang berpotensi merusak legitimasi demokrasi. “Sejak kapan ijazah, surat bebas pidana, atau laporan harta kekayaan calon pemimpin bangsa menjadi rahasia negara?” tegas Ketua Umum Netfid Indonesia, M. Afit Khomsani.
Menurut Netfid, ada tiga alasan mengapa keputusan ini sangat berbahaya. Pertama, menyalahi prinsip transparansi dan akuntabilitas yang dijamin UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kedua, memberi pendidikan politik yang sesat dengan mengajarkan rakyat untuk pasif. Ketiga, melanggar asas Pemilu Luberjurdil yang menjadi fondasi demokrasi Indonesia.
Lebih dari sekadar kesalahan teknis, Netfid menilai langkah KPU mencerminkan wajah gelap birokratisasi elitis: pemilu direduksi menjadi prosedur administrasi tertutup, rakyat diposisikan hanya sebagai formalitas pencoblosan. “Demokrasi tanpa keterbukaan hanyalah panggung oligarki berkedok pemilu,” ujar Afit.
Netfid mendesak Presiden dan DPR segera memanggil KPU untuk memberikan pertanggungjawaban publik. Tanpa evaluasi serius, kata Afit, keputusan serupa bisa terulang dan mengikis habis legitimasi Pemilu. “Independensi KPU bukan alasan untuk kebal kritik. Justru karena independen, KPU wajib diawasi secara ketat,” tambahnya.
Kasus ini juga menyalakan alarm politik yang lebih dalam: krisis akuntabilitas lembaga, minimnya budaya transparansi, dan ketakutan elite terhadap keterbukaan informasi. Implikasinya jelas: meningkatnya curiga publik, risiko delegitimasi hasil Pemilu, dan polarisasi politik yang semakin tajam.
Netfid menutup pernyataannya dengan seruan keras: rakyat berhak tahu seluruh dokumen calon pemimpin bangsa. “Jika KPU menutup pintu keterbukaan, maka demokrasi hanya tinggal nama,” pungkas Afit.