Jakarta, NETFID – Dewan Perwakilan Rakyat telah merevisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Usulan tersebut datang dari Mahkamah Kehormatan Dewan yang direspons secara kilat oleh pimpinan DPR untuk bisa dibahas oleh Badan Legislasi.
Hasilnya, dalam tata tertib tersebut – Dewan Perwakilan Rakyat memiliki kewenangan untuk memberikan evaluasi secara berkala terhadap para pejabat negara yang dipilih melalui proses fit and propert test di parlemen.
Hal tersebut termaktub dari hasil revisi tata tertib dengan menambahkan klausul di antara Pasal 288 dan Pasal 289, terutama pada Pasal 288 A ayat 1 dan ayat 2 yang secara eksplisit bicara kewenangan DPR untuk bisa melakukan kontrol terhadap pejabat negara.
Sebab, dengan adanya revisi tersebut DPR secara berkala dapat melakukan evaluasi terhadap pejabat yang melalui proses uji kepatutan dan kelayakan yang telah ditetapkannya saat proses rapat paripurna. Bahkan, keputusan ini mengikat dan disampaikan oleh komisi terkait yang menjadi mitra kerjanya terhadap pimpinan DPR.
Akibatnya, aturan internal tersebut bisa dijadikan sebagai instrumen politik oleh para politikus di parlemen terhadap para pejabat negara yang tidak memiliki arah kompas yang sama. Dalam bahasa lain, para politikus di parlemen bisa saja melakukan intervensi atau mendongkel para pejabat negara yang telah disahkan saat rapat paripurna karena tidak mengikuti instruksi dari adanya kepentingan politikus atau partai politik.
Keberadaan revisi tata tertib tersebut tentunya berdampak pada pejabat negara yang ada di sebagian lembaga negara, di antaranya, pimpinan KPK, Komisioner KPU, Komisioner Bawaslu, DKPP, MA, MK, Kepolisian, TNI, Gubernur Bank Indonesia.
Lembaga-lembaga negara tersebut tentunya secara kewenangan kelembagaan berbeda dengan cabang kekuasaan legislatif, misalnya, Kepolisian dan TNI berada di cabang kekuasaan eksekutif atau di bawah Presiden sebagai panglima tertinggi, sedangkan lembaga peradilan atau hukum bertalian dengan cabang yudikatif.
Tak ayal, proses revisi tata tertib ini memunculkan kontroversi, baik di internal parlemen maupun di ruang publik. Pasalnya, hal ini menimbulkan kontradiksi, di mana aturan internal DPR bisa mengikat keberadaan cabang kekuasaan lainnya.
Kepentingan Politik
Para politikus di Senayan melakukan revisi terhadap tata tertib ini tentunya dilandasi oleh kepentingan politik. Kepentingan politik tersebut yang terlihat di layar panggung depan politik (frontstage politic) tentunya untuk memberikan evaluasi terhadap para pejabat negara, karena DPR memiliki wewenang untuk mengawasi, terlebih DPR sebagai salah satu lembaga yang melakukan uji fit and propert test calon pejabat negara dalam rapat paripurna.
Sementara itu, di balik layar belakang (backstage politic) tidak terlihat secara kasat mata, namun khalayah publik dan aktor politik lainnya bisa memberikan perspektifnya bahwa proses revisi yang dilakukan secepat kilat ini karena ada keperluan mendesak yang perlu dilakukan.
Oleh sebab itu, muncul interpretasi di ruang publik bahwa DPR berencana mengkooptasi para pejabat negara yang tidak sejalan dengan kepentingan lembaga parlemen, terutama para politikus dan partai politik.
Meski demikian, hal tersebut disangkal oleh DPR. Sebab, di satu sisi – DPR membuat keputusan politik sesuai dengan harapan dan kepentingan aktor politik dan aktor informal lainnya, misalnya, juga kerap dipatahkan oleh lembaga peradilan, seperti DPR yang telah memberhentikan Aswanto dari Mahkamah Konstitusi pada 2022 lalu, yang dinilai tidak memiliki arah jalan yang sama mengenai produk politik yang telah dibuat oleh DPR.
Keputusan DPR yang mencopot Aswanto juga dikritik publik karena DPR tidak memiliki kewenangan untuk memberhentikan pejabat negara, terlebih berbeda cabang kekuasaan. Kemunculan tata tertib yang baru ini menimbulkan kekhawatiran publik yang bisa menggerogoti lembaga hukum melalui pejabat negara yang bisa dievalusi oleh DPR secara berkala.
Jika kepentingan antara DPR dan pejabat negara yang memiliki otoritas hukum sejalan, tentunya tidak akan adanya evaluasi yang berkala, melainkan akan mulus. Akan tetapi, jika terdapat diferensiasi sikap politik dan hukum, bisa saja DPR melakukan lobi politik atau mengintervensi pejabat negara tersebut.
Hal ini bisa berimbas pada independensi para pejabat negara sekaligus bisa merusak ketatanegaraaan Indonesia. Merujuk pada komposisi koalisi pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, menunjukkan adanya koalisi besar di parlemen yang bisa menjadi ‘stempel kekuasaan eksekutif’, termasuk dalam kebijakan dan program yang hendak dicapai.
Oleh karena itu, untuk memuluskan agenda pemerintahan, diperlukan stabilitas dan kemudahan, agar proses produk hukum yang diciptakan bisa dibuat secara cepat.
Aktor dan elite politik tentunya menyadari untuk memuluskan agenda-agenda tersebut, secara keseluruhan harus terkoneksi atau memiliki arah kompas yang sama dengan pemerintahan. Saat ini, dukungan para politikus di parlemen terhadap Presiden Prabowo Subianto sangatlah tinggi karena adanya kehadiran partai politik di Koalisi Indonesia Maju pada Pilpres 2024, plus partai politik lainnya yang telah menjadi rival politik, kini juga turut bergabung.
Di samping itu, dukungan publik juga sangat tinggi terhadap pemerintahan, terutama sejak 100 hari kerja Prabowo-Gibran dengan capaian 80,9 persen (Kompas.id, 2025).
Dampak Revisi
Tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat ini berlaku pada pejabat negara yang disahkan melalui rapat paripurna. Tapi, revisi tata tertib tersebut bersifat kontradiktif. Pertama, dalam perspektif peraturan perundang-undangan, aturan internal lembaga tidak bisa mengikat pejabat negara yang berasal dari lembaga lainnya.
Karena itu, bisa pula ditilik hierarki peraturan perundang-undangan, terlebih ini hanya sekadar peraturan internal institusi yang tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Kedua, para pengusul tata tertib DPR tersebut seyogianya memafhumi bahwa merevisi tata tertib ini juga perlu memerhatikan cabang kekuasaan lainnya karena sudah ada pembagian kekuasaan, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Montesquieu yang mencakup eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Dalam konteks ini, pejabat negara yang melalui proses fit and proper test saat rapat paripurna di DPR juga berasal dari cabang kekuasaan lainnya, seperti eksekutif dan yudikatif. Sebagai ilustrasi, misalnya, pejabat negara seperti Kapolri dan Panglima TNI, berada di cabang kekuasaan eksekutif di bawah Presiden sebagai panglima tertinggi seperti yang tertuang pada Pasal 10 UUD 1945, termasuk juga lembaga peradilan seperti MA, MK, dan KY yang di bawah cabang kekuasaan yudikatif. Hal ini bisa juga turut memengaruhi kontrol dan peranan dari check and balances antarlembaga negara.
Dampak revisi ini juga akan memunculkan kekuatan lembaga parlemen yang bisa semakin menjadi lembaga superbody di tengah kewenangan yang dimiliki oleh cabang kekuasaan lainnya.
Imron Wasi, Manager Riset dan Advokasi Publik Netfid Indonesia.